JURUSAN SOSIOLOGI DAN SEKRETARIAT JENDERAL MPR RI SELENGGARAKAN SEMINAR NASIONAL: MEMBUMIKAN PANCASILA UNTUK GENERASI MILENIAL

Jurusan Sosiologi dan Sekretariat Jenderal MPR RI selenggarakan Seminar Nasional: Membumikan Pancasila untuk Generasi Milenial, pada Hari Sabtu, 1 Desember 2018, bertempat di Krisna Ballroom, Hotel Java Heritage Purwokerto. Seminar nasional ini dibuka oleh Dekan Fisip, Dr. Jarot Santoso, M.S., “pentingnya seminar nasional ini, karena selaras dengan perkembangan media sosial yang begitu pesat, sehingga menjadi tantangan dalam membumikan Pancasila untuk generasi milenial. Selain itu, juga memberikan apresiasi untuk Jurusan Sosiologi dan Sekretariat Jenderal MPR RI yang telah bekerjasama dalam menyelenggarakan seminar nasional ini.” Ungkap Dr. Jarot Santoso, M.S., dalam sambutannya.

Ketua seminar nasional ini, Dr.Tri Wuryaningsih, M.Si, mengungkapkan Pancasila harus dijaga nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sehingga menjadi karakter atau identitas bangsa. Lebih lanjut Dr. Tri Wuryaningsih, M.Si., dalam laporan sebagai ketua seminar nasional ini juga mengungkapkan,”tujuan diselenggarakan seminar nasional ini, sebagai salah satu upaya yang dilakukan Jurusan Sosiologi agar menungkatkan pemahaman generasi milenial tentang pentingnya melaksanakan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dalam kehidupan sehari-hari..”

Ada tiga narasumber, dalam Seminar Nasional: Membumikan Pancasila Untuk Generasi Milenial, sebagai berikut: 1. Dr. Ma’ruf Cahyono, S.H., M.H. (Sekretaris Jenderal MPR RI). 2. Dr. Heri Santoso (Kepala Pusat Studi Pancasila, Universitas Gadjah Mada). 3. Dr. Nana Sutikna (Dosen FISIP Universitas Jenderal Soedirman). Peserta seminar nasional ini adalah Mahasiswa Universitas Jenderal Soedirman dan mahasiswa yang ada di Kabupaten Banyumas, guru atau dosen, dan civitas akademika lainnya. Hariyadi, Ph.D selaku moderator, memandu seminar nasional ini dengan baik sehingga diwarnai dengan diskusi dua arah yang semarak. Di akhir acara, Dr. Tri Wuryaningsih, M.Si selaku ketua seminar nasional ini, menutup acara sekaligus memberikan apresiasi atas antusias dari peserta seminar nasional ini. Salam Pancasila.

Pentingnya Pemberdayaan Berperspektif Gender

[unsoed.ac.id, Sen, 05/06/17] Bertempat di Ruang Sidang FISIP Unsoed, Program Studi S2 Sosiologi beberapa waktu yang lalu menyelenggarakan seminar akademik sebagai upaya meningkatkan pengetahuan dan kemampuan analisis mahasiswanya dengan tema Komunikasi Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Gender. Hadir sebagai narasumber Prof. Dr. Emy Suyanti, MA., dari Universitas Airlangga yang menyampaikan dua materi yaitu Teori Sosiologi Gender dan Pendekatan Pembangunan dalam Perspektif Gender.

Menurut Ketua Panitia Dr. Ign. Suksmadi, Kehadiran pakar lain diharapkan akan menambah penguasaan pengetahuan dan analisis mahasiswanya pada konsentrasi peminatan pemberdayaan masyarakat dan sosiologi pendidikan. “Kehadiran pakar lain, bisa memberikan suasana yang berbeda dalam penyampaian materi dan sudut pandang keilmuan yang berbeda, sehingga bisa memperluas wawasan pengetahuan dan daya analisis mahasiswa,” tegasnya.

Mengawali paparannya Prof. Dr. Emy Suyanti, MA., menyatakan benarkah salah satu institusi sosial yang tertua dan terkuat di dunia adalah relasi gender. Pada dasarnya hubungan sosial antara manusia khususnya laki-laki dengan perempuan ada sejak manusia itu lahir, karena hubungan sosial itu terbangun karena adanya saling membutuhkan, baik pada sektor domestik maupun publik. Hanya dalam penerapannya sering mengalami deminimalisasi tapi juga maksimalisasi, artinya relasi gender dapat diubah dan berubah, yang berbeda dari waktu kewaktu. “Hal ini akan berpengaruh pada peran perempuan dalam pembangunan, untuk itu perlu pemberdayaan. Pemberdayaan perempuan bisa dilakukan dalam tiga bentuk yaitu Women in Development, Women and Development dan Gender and Development“, pungkasnya

Maju Terus Pantang Mundur Tak Kenal Menyerah!

RUU Kamnas: Integrasi atau Disintegrasi Bangsa

Itulah pertanyaan yang akan dijawab oleh Keluarga Besar Mahasiswa Sosiologi (KBMS) Fisip UNSOED lewat Seminar Nasional yang digelar hari Sabtu (07/12) di Aula FISIP Unsoed. UU Keamanan Nasional lahir dari transisi Indonesia menuju reformasi sebagai antisipasi munculnya rezim otoriter karena rezim otoriter bisa lahir dari demokrasi. Dalam proses itu ada yang namanya disintegrasi. Melihat pentingnya masalah tersebut maka KBMS menggelar seminar nasional dengan tema “Potensi RUU Kamnas Terhadap Disintegrasi Bangsa”.

Ketua KBMS FISIP Unsoed, Restu Hermawan mengatakan bahwa tujuan seminar nasional ini untuk mengkaji RUU Kamnas dan melatih daya kritis mahasiswa untuk mencermati RUU Kamnas, kaitannya dengan potensi RUU Kamnas tehadap disintegrasi bangsa dalam kerangka ilmiah, sesuai dengan slogan KBMS yaitu freedom in disscuss. Dekan Fisip Dr. Ali Rokhman, MSi, sangat mengapresiasi seminar ini. ”Seminar ini menjadi bentuk kepedulian mahasiswa terhadap permasalahan bangsa, namun tetap dalam kerangka ilmiah”, tegasnya. Diharapkan kedepan makin banyak keluarga mahasiswa jurusan lain, yang menyelenggarakan kegiatan-kegiatan ilmiah dengan tema masalah kebangsaan atau kemasyarakatan yang aktual.

Seminar menghadirkan Dr. Otto Iskandar Ishaq dari Komnas HAM RI, Hariyadi, Ph.D dosen Fisip dan dari militer ini bertujuan untuk mendengar pendapat dan ulasan dari sisi yang berbedaan kontra terhadap RUU Keamana Nasional atau RUU Kamnas ini. Namun dari pihak militer tidak dapat hadir karena ada tugas ke daerah.

Dr. Otto Iskandar Ishaq menyampaikan, “RUU Kamnas memiliki potensi munculnya rezim otoriter, karena pada RUU tersebut ada pasal tentang dewan keamanan nasional yang mengintegrasikan semua komponen seperti presiden, panglima TNI dan Polri, ini yang berbahaya”. Dari segi institusionalisasi kekuasaan, ini memberi kewenangan berlipat, jika presiden ingin mengeluarkan status darurat militer, tidak perlu berkonsultasi pada DPR. Karena kewenangan berlipat itu, dewan nasional akan bersifat otoriter dan dimungkinkan ada penghilangan atau pengurangan terhadap HAM. Meskipun otoritarian bisa dilakukan oleh seluruh komponen bangsa, seperti otoritarian pelanggar HAM militer, demokrasi pelanggar HAM nya polisi dan otoritarian turun ke jalan, yaitu organisasi yang anarkis, baik itu organisasi etnis, agama dsb. Untuk mengantisipasi itu maka dibuat RUU Penanganan Konflik Sosial (PKS), yang isinya 80% sama dengan RUU Kamnas.

Hariyadi, Ph.D (Sosiolog) mengatakan, negara ada karena untuk menjamin rasa aman kepada rakyatnya. “RUU Kamnas ini multitafsir dan kabur, apa yang akan diatur kurang jelas, antara masalah keamanan atau pertahanan”, tegasnya. Hal ini bisa menjadi legitimasi bagi militer untuk memperkuat peran dan fungsinya dalam mengambil tindakan. Presiden dalam penyelenggaraan Kamnas dapat mengerahkan unsur TNI untuk menanggulangi ancaman bersenjata dalam keadaan tertib sipil. RUU Kamnas memperkuat pengawasan negara terhadap masyarakat sipil, tetapi tidak mengatur mekanisme pengawasan secara rinci, sehingga mempersempit ruang kritik sosial dan berpotensi membenturkan kelompok-kelompok masyarakat. (KBMS)