Perjalanan panjang dan perjuangan yang tak kenal menyerah selama bertahun-tahun untuk meraih gelar derajat pendidikan tertinggi telah mencapai puncaknya. Ruang Seminar FISIPOL Universitas Gadjah Mada, Sabtu (24/03) pukul 08.45 WIB, menjadi saksi puncak perjalanan dan perjuangan salah satu staf pengajar Jurusan Sosiologi FISIP Unsoed yang akrab di pangggil Bu Tri Wur ini meraih Gelar Doktor. Dalam sidang terbuka yang diketuai Dekan Fisipol UGM Dr. Erwan Agus Purwanto, dengan promotor Prof. Dr. Sunyoto Usman dan Co-Promotor Prof. Dr. Heru Nugroho, dan Tim Penilai Dr. Arie Sujito (Ketua), Dr. Amelia Maika (Anggota), Dr. Dewi Candraningrum (Anggota) serta Tim Penilai Tim Penguji Dr. Sugeng Bayu Wahyono, Dr. M. Supraja, Tri Wuryaningsih, M.Si., berhasil mempertahankan desertasinya yang berjudul: “Anak Berkonflik dengan Hukum: Membongkar Rezim Pendisiplinan Anak”.
Mengawali paparannya, Tri Wuryaningsih menyampaikan bahwa dalam penanganan anak berkonflik dengan hukum (ABH) di Indonesia, pendekatan restorative justice telah menjadi rezim kebenaran yang ditandai dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Melalui restorative justice, projek normalisasi dan kepatuhan bergeser dari ruang penjara ke ruang keluarga.
Dijelaskan bahwa dalam relasi dengan negara, ABH cenderung diposisikan sebagai subjek kekuasaan pendisiplinan yang terinstitusionalisasikan melalui pembuatan produk hukum dan kebijakan tentang ABH yang berkiblat pada Konvensi Hak Anak. Konvensi ini secara fundamental telah membedakan kategori anak dengan orang dewasa dan membenarkan pemosisian anak sebagai yang harus tunduk dalam hubungannya dengan orang dewasa, dengan demikian hak-hak anak tetap mengakar pada nilai-nilai paternalisme dan proteksi, daripada partisipasi.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa dalam upayanya mewujudkan tujuan positif restorative justice, negara dihadapkan pada persoalan nilai-nilai dan konsep tentang anak yang berlaku dalam keluarga dan masyarakat, yang secara umum memposisikan anak sebagai individu yang masih bergantung, harus bisa “mikul dhuwur mendhem jero”, kewajiban menjaga nama baik lingkungan, hingga anak dianggap nakal, bandel, “ora bisa diomongi” seringkali mendapat stigma, tekanan dan kekerasan dari keluarga maupun lingkungannya. Disisi lain kekuasaan disipliner yang dikembangkan melalui keluarga, kepolisian, balai pemasyarakatan, pusat rehabilitasi, bahkan penjara sekalipun tidak selalu menghasilkan apa yang disebut sebagai ‘tubuh patuh’ yang dapat dibentuk, ditransformasikan, dan diperbaiki, karena pada kenyataannya anak bukan merupakan objek yang pasif akan tetapi merupakan aktor yang aktif dan memiliki potensi sebagai agen yang mampu melakukan negosiasi bahkan perlawanan atas wacana anak dominan
FISIP Unsoed…Maju Terus Pantang Mundur, Tidak Kenal Menyerah !