Akhir-akhir ini, Mixue menjelma sebagai fenomena sosial baru di kalangan masyarakat Indonesia. Gerai es krim yang berasal dari kota Zhenghou, Republik Rakyat China (RRC), ini menjadi perbincangan hangat netizen di media sosial, dibuktikan dengan beredarnya meme dan video review di Instagram dan Tiktok. Produk es krim ini digemari oleh banyak kelompok masyarakat, terutama generasi muda.
Pada mulanya, Mixue didirikan pada tahun 1997 oleh Zhang Hongchao ketika masih menjadi mahasiswa. Berawal dari pinjaman uang dari nenek sebagai modal, ia kemudian mendirikan bisnis yang dengan nama “Cold Stream Shaved Ice“. Perjalanan bisnis yang dirintis oleh Zhang Hongchao ini tidak mudah, ia pernah menutup bisnisnya karena penurunan omset. Namun, karena kegigihannya, ia akhirnya menemukan strategi untuk menaikkan penjualan es krim dengan harga lebih murah daripada kompetitornya.
Hingga hari ini, Mixue tercatat mempunyai gerai sebanyak 21.000 lebih di negara China. Saat ini, perusahaan es krim ini tengah gencar melakukan ekspansi (membuka cabang baru) di berbagai negara di Asia, termasuk di Vietnam dan Indonesia. Bahkan, bukan cuma di kawasan ASEAN semata, Mixue juga merambah negara-negara maju di kawasan Asia Timur seperti Korea Selatan dan Jepang.
Usaha waralaba khas Mixue ini apabila kita tarik ke belakang, mirip dengan fenomena McDonald’s atau McD dan Starbuck yang menjadi tanda pengaruh dari globalisasi yang diciptakan oleh Amerika Serikat atau yang popular disebut Amerikanisasi. Dan mungkin saja, apabila fenomena Mixue ini terus dieksiskan oleh masyarakat, akan mendorong terjadinya Mixue-ization (Mixue-isasi). Lalu bagaimana perspektif Sosiologi tentang munculnya fenomena mixue dan kaitannya dengan perilaku konsumtif masyarakat?
Mengkonsumsi barang dan jasa adalah sebuah aktivitas yang lazim dilakukan oleh individu dan masyarakat. Namun, akhir-akhir ini aktivitas konsumsi bukan hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan primer, tapi juga sebagai sarana untuk mengekspresikan desire (keinginan). Dunia konsumsi hari ini menciptakan kebutuhan-kebutuhan baru untuk dikonsumsi oleh individu.
Dalam konteks fenomena mixue ini, apabila suatu kelompok masyarakat tengah mengkonsumsi dan memperbincangkan sebuah produk, maka kelompok masyarakat lain juga akan berbondong-bondong mengikuti (mengkonsumsi) barang dan jasa tersebut sehingga menjadi tenar. Salah seorang sosiolog postmodern, Jean P. Baudrillard mengungkapkan bahwa konsumerisme merupakan anak kandung dari kapitalisme yang masuk hingga ke dalam jantung masyarakat.
Di era globalisasi, sikap dan tindakan manusia memang sengaja diarahkan oleh rezim globalisasi (pemilik modal) untuk mendukung, menyukseskan kepentingan-kepentingan kaum pemilik modal (pemilik industri).
Aktivitas konsumsi dianggap sebagai heterogenisasi atau homogenisasi kultur global. Homogenisasi dimaknai sebagai kultur lokal yang telah terkooptasi oleh kultur global maupun sebaliknya. Budaya lokal semakin memperlihatkan eksistensi yang dimilikinya budaya global yang berkembang. perubahan aktivitas konsumsi sering dianggap sebagai sebuah hal yang negatif, bahkan menjadi kambing hitam dalam berbagai hal terlebih terdegradasinya kultur lokal, dan budaya nasional, serta budaya global.
Perilaku konsumsi mengalami pergeseran bukan lagi dilakukan untuk memenuhi kebutuhan, tapi dilakukan berdasarkan dorongan keinginan untuk memperoleh kebahagiaan, mempertahankan eksistensi, mendapat pengakuan dan penghargaan orang lain, dan mengikuti trend yang berkembang dalam masyarakat.
Baudrillard hendak mendekonstruksi dikotomi antara subjek dan objek, dan secara universal, makna tentang kebutuhan. Kita tidak harus membeli (mengkonsumsi) apa yang kita perlukan, tetapi apa yang dilegitimasi oleh simbol atau tanda yang hendaknya kita beli. Bahkan kebutuhan individu sekalipun dipengaruhi dan ditentukan oleh tanda (simbol). Dan realitas yang dilakukan menjadi kesadaran palsu.
Contohnya saat kita membeli Mixue, kita bukan hanya sekadar membeli minuman, tapi juga membeli merek dan citra besar Mixue untuk meningkatkan nilai dan status sosial kita dengan menggunakan objek konsumsi dan menjadikannya sebagai sebuah komoditas (meminjam istilah Marx).
Dalam bukunya yang berjudul “Masyarakat Konsumsi” halaman 32, Jean P. Baudrillard menegaskan bahwa aktivitas konsumsi berlebihan (surplus konsumsi) terhadap barang tambahan yang tidak terlalu penting, karena dengan melakukan tindakan tersebut, individu dan masyarakat dapat mempertahankan eksistensinya.
Menurut teori masyarakat konsumsi Baudrillard, saat ini logika konsumsi masyarakat tidak lagi didasarkan atas exchange value atau use value tapi mengalami pergeseran menjadi symbolic value. Orang bukan lagi mengkonsumsi barang aau objek berdasarkan nilai guna atau nilai tukarnya, tetapi karena nilai simbol/tanda yang melekat, bersifat abstrak dan terkonstruksi. Hal ini dikarenakan beberapa iklan tawaran produk dengan cara menegasikan keperluan konsumen terhadap kelebihan produk, mempengaruhi aspek emosional dan rasa sombong rahasia dalam diri manusia, produk ditawarkan sebagai life style (gaya hidup) dan simbol prestise.
Dari proses tersebut muncul klise dalam diri individu dan masyarakat penggunanya. Dari sini terjadi percampuran antara simulasi dan realitas yang menciptakan hiper realitas dalam masyarakat, yakni sebuah kondisi sosial dimana antara yang nyata dan tidak nyata menjadi satu sehingga menghasilkan ketidakjelasan. Ini yang menyebabkan masyarakat memiliki kemampuan, kesadaran yang rendah untuk mengurai kebutuhan hidup dan menentukan skala prioritas.
Oleh karena itu, penting bagi setiap individu dan masyarakat menumbuhkan kesadaran kritis untuk dapat menentukan skala prioritas, melakukan aktivitas konsumsi sesuai dengan kebutuhannya, dan disesuaikan dengan skala finansial yang lebih bijaksana dan rasional. Bukan berdasarkan atas trend, gaya, simbol, prestis, dan lain sebagainya.
Oleh: Nur Kholis
(Mahasiswa S2 Sosiologi FISIP UNSOED)